Cerita Rakyat - Kerajaan Surya Langit [Lima Menit Yang Sangat Berarti]

Cerita Rakyat - Kerajaan Surya Langit [Lima Menit Yang Sangat Berarti]

cerita rakyat

Pagi itu, taman istana Kerajaan Surya Langit dipenuhi suara tawa anak-anak yang bermain riang. Angin berembus lembut, membawa aroma bunga kenanga yang bermekaran di sepanjang jalan setapak. Di salah satu bangku kayu berukir, seorang pria duduk dengan pandangan tak lepas dari seorang bocah laki-laki berbaju coklat dengan caping bambu yang berlarian dengan riang. Di sampingnya, seorang perempuan tua tersenyum, menatap seorang anak laki-laki lain yang tengah meluncur dari papan luncur kayu jati.  

"Itu cucuku, Arya," ujar perempuan itu, suaranya penuh kebanggaan.  
Pria itu mengangguk pelan, lalu menunjuk ke arah anak berbaju coklat. "Yang sedang berlarian itu putraku, Genta."  

Sinar matahari mulai meninggi. Pria itu melirik ke bayangan yang semakin pendek di tanah, lalu berseru, "Genta, saatnya pulang."

Bocah itu menghentikan ayunannya, menatap ayahnya dengan mata memohon. "Ayah, lima menit lagi, ya? Aku masih ingin bermain!"

Pria itu terdiam, matanya sedikit berkabut, seolah menembus waktu ke masa lalu. Setelah beberapa saat, ia tersenyum kecil dan mengangguk. "Baiklah, lima menit lagi."

Perempuan di sampingnya tersenyum. "Tuan pasti ayah yang sabar," katanya dengan kagum.  
Pria itu menoleh, senyum samar terbit di wajahnya. "Tidak selalu. Dulu aku punya seorang anak, Rama. Ia kakak Genta."

Perempuan itu mengernyit. "Oh… di mana dia sekarang?"

Pria itu menatap jauh ke depan, suaranya terdengar berat. "Ia sudah tiada."  
Perempuan itu terdiam, tak ingin bertanya lebih jauh. Namun, pria itu melanjutkan sendiri.

"Suatu hari, Rama juga bermain di taman ini. Ia memohon sedikit waktu lagi, ingin berayun sedikit lebih lama. Tapi saat itu aku sedang tergesa-gesa—ada panggilan mendadak dari istana. Aku menarik tangannya, memaksanya pulang. Ia menangis, meronta, lalu melepaskan genggamanku dan berlari ke jalanan depan taman..."

Pria itu mengepalkan tangannya erat. "Sebuah kereta kuda milik seorang pembesar istana melintas kencang. Aku hanya bisa melihatnya… terlambat untuk berbuat apa pun. Rama pergi begitu saja, sebelum aku sempat memberinya satu pelukan lagi, sebelum aku sempat berkata bahwa aku mencintainya."  

Perempuan itu tertegun, ikut merasakan kepedihan yang terpancar dari mata pria itu.  
"Sejak hari itu," lanjutnya, "aku berjanji tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Ketika Genta meminta lima menit tambahan, mungkin ia mengira itu untuknya. Tapi sebenarnya, akulah yang membutuhkan lima menit itu. Lima menit untuk melihatnya tersenyum. Lima menit untuk mengingat setiap tawanya. Lima menit yang dulu tidak sempat kudapatkan bersama Rama."

Pria itu menatap anaknya yang masih tertawa di ayunan. Ia tahu, lima menit tidak akan pernah cukup, tapi lima menit lebih baik daripada tidak sama sekali. 
 
Perempuan di samping pria itu terdiam cukup lama. Kisah yang baru saja didengarnya menyentuh hatinya dengan cara yang tak bisa dijelaskan. Ia menatap pria itu yang masih memperhatikan Genta bermain, seolah ingin menyerap setiap momen yang terjadi di hadapannya.

Setelah beberapa saat, perempuan itu berkata lirih, “Aku mengerti perasaanmu.”  
Pria itu menoleh. “Apa kau juga kehilangan seseorang?”

Perempuan itu tersenyum tipis, namun ada kepedihan yang tersirat di matanya. “Aku tidak kehilangan mereka secara harfiah… tapi aku kehilangan waktu yang seharusnya bisa kuhabiskan bersama mereka.”

Pria itu mengernyit, memberi isyarat agar perempuan itu melanjutkan ceritanya.

“Dulu, suamiku dan aku sama-sama bekerja di istana. Kami sibuk dengan tugas kami, dengan ambisi kami, dengan kehidupan yang terus berjalan tanpa henti. Kami berkata pada diri sendiri bahwa semua yang kami lakukan adalah untuk masa depan anak-anak kami, untuk memberi mereka kehidupan yang lebih baik. Tapi tanpa kami sadari, saat kami mengejar kehidupan yang lebih baik itu, kami justru kehilangan waktu untuk benar-benar hidup bersama mereka.”  
Ia menatap ke kejauhan, seolah melihat bayangan masa lalu.  

“Aku masih ingat, saat anak-anakku kecil, mereka sering datang kepadaku, meminta waktu untuk bermain, untuk mendengarkan cerita mereka, untuk sekadar berjalan-jalan di taman seperti ini. Tapi aku selalu berkata, ‘Nanti ya, Nak. Ibu sedang sibuk. Lain kali saja.’ Begitu terus, sampai aku sendiri tidak menyadari kapan terakhir kali aku bermain bersama mereka tanpa terburu-buru.” 

Pria itu mengangguk pelan, memahami arah cerita perempuan itu.

“Waktu berjalan begitu cepat,” lanjutnya, “dan sebelum aku menyadarinya, mereka sudah tumbuh dewasa. Anak-anakku yang dulu berlari-lari kecil di rumah, sekarang sudah sibuk dengan kehidupannya sendiri. Mereka punya pekerjaan, punya teman-teman, punya keluarga kecil mereka sendiri. Dan aku? Aku masih di sini, hanya bisa menatap kenangan, menyadari bahwa semua waktu yang dulu mereka minta dariku—hanya lima menit, hanya sebentar—sudah tak bisa lagi kuperoleh kembali.”

Suara perempuan itu terdengar serak. “Sekarang, aku yang mencari-cari waktu mereka. Aku ingin bicara, ingin mendengar cerita mereka, ingin sekadar duduk bersama seperti dulu… tapi mereka tak lagi punya waktu untukku. Sama seperti dulu aku tak punya waktu untuk mereka.”  
Hening sesaat. Hanya terdengar suara angin yang berdesir di antara pepohonan.

Pria itu menatap perempuan itu dengan penuh pemahaman. “Kita selalu berpikir bahwa waktu bisa menunggu. Bahwa nanti, saat semuanya sudah lebih baik, kita bisa meluangkan waktu untuk orang-orang yang kita cintai. Tapi kenyataannya, waktu tak pernah menunggu.” 
 
Perempuan itu tersenyum pahit. “Dan pada akhirnya, yang tersisa hanya penyesalan. Duduk sendiri di usia senja, bertanya-tanya bagaimana rasanya jika dulu aku menunda pekerjaanku lima menit saja untuk mendengar cerita anakku. Jika dulu aku memberikan sedikit lebih banyak waktu untuk mereka, bukannya untuk pekerjaan yang sekarang bahkan sudah tidak lagi berarti.”  

Pria itu mengangguk, lalu menoleh ke arah Genta yang masih tertawa riang di ayunan. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu tersenyum kecil. “Itulah kenapa aku tak mau mengulang kesalahan itu. Lima menit ini mungkin terdengar kecil, tapi bagi mereka, ini adalah dunia.”  

Penulis Edi Warsono
Kontributor Eveline Novita Eva Nurhayati Bundanya Khafa

#Cerita #Dongeng #Legenda #DongengIndonesia #FairyTale #CeritaRakyat #Fabel #DongengAnak #Folklore #CerpenAnak #Cerpen
 
Pesan Moral:
  1. Hidup bukan hanya tentang mengejar kesuksesan, tetapi tentang bagaimana kita membaginya dengan orang-orang yang kita cintai. Jangan sampai kita baru menyadari nilai sebuah kebersamaan setelah semuanya sudah terlambat. Waktu yang hilang tak bisa dibeli kembali, dan penyesalan di usia senja adalah luka yang tak bisa disembuhkan.
Semoga cerita ini bermanfaat dan menginspirasi! 🤗

Baiklah sahabat diarysiswa.com, demikian Cerita Rakyat - Kerajaan Surya Langit [Lima Menit Yang Sangat Berarti]. Cukup sekian dulu ya sharing kita kali ini. Semoga apa yang kami bagikan pada kesempatan ini bisa bermanfaat untuk kita bersama.

Sahabat diarysiswa.com, kami menyadari bahwa dengan keterbatasan yang kami miliki sudah tentu apa yang kami bagikan jauh dari kata sempurna. Namun, kami akan selalu berusaha untuk senantiasa menyajikan postingan-postingan yang terbaik dan kami akan selalu menguptude untuk memberikan yang terbaik. Tentunya dukungan dari sahabat semua sangat kami harapkan, senang rasanya jika sahabat-sahabat berkenan untuk membagikan postingan-postingan kami dimedia sosial para sahabat agar apa yang kami bagikan semakin memberikan manfaat untuk banyak orang. Amin 🙏

Kunjungi Portal Rangkuman Materi, Kumpulan Soal & Video Pembelajaran
Untuk Kelas 6 Kurikulum Merdeka Disini !!!
klik disini

Follow : Ikuti secara publik, Anda akan mendapatkan berbagai informasi terbaru dari postingan blog ini.
klik disini

Komentar

Postingan populer dari blog ini

25 Soal Pendidikan Pancasila Kelas 6 BAB 5 - Kurikulum Merdeka, Menghormati Perbedaan Budaya dan Agama

Rangkuman Materi Pendidikan Pancasila Kelas 6 Bab 7, Menjaga Persatuan dan Kesatuan dengan Gotong Royong - Kurikulum Merdek

Rangkuman Materi Pendidikan Pancasila Kelas 6 Bab 6, Provinsiku Bagian dari Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia - Kurikulum Merdeka